Aku udah membuat kesimpulan dari
beberapa orang, entah lewat dengerin ceritanya, ngobrol langsung tentang ini,
atau dari kisah-kisah nggak langsung lainnya. Intinya semua orang punya their
too good to be true. Cewek cowok semua punya.
Kebanyakan too good to be
true-nya mereka itu cita-citanya, yang biasanya udah terangkum paket manis
bertahap, dan kalau dijalani bakal serasa besok mati aja udah ikhlas asal ada
too good to be true-nya disampingnya. Yang serasa tawa anak kecil di jok belakang
mereka udah pasti mereka dapetin. Yang serasa kopi pagi yang di meja pasti pas
rasanya. Yang serasa setiap siang ada karya yang siap dikeluarkan. Yang serasa
setiap sore mereka selalu naik vespa keliling jogja dan akhirnya makan nasi
goreng di tengah kota berdua. Mungkin ini adalah sisi idealis masa muda.
Semacam mereka terbunuh oleh harapan
mereka sendiri (dan ada yang trauma), karena kebanyakan too good to be true-nya
adalah mantan. Tapi temen samping kelas, too good to be true-nya adalah
gebetannya, yang udah jalan kemana, lendotan kapan aja, kenal sama siapanya,
tapi akhirnya tiba-tiba lost contact juga dan hilang. Pada akhirnya dia wisuda,
diucapin. Yaudah. Selesai. Nothing special.
Ada juga yang mantannya dari SMA,
yang tumbuh bareng, evaluasi bareng, berkembang berencana bercita-cita bareng.
Tapi akhirnya putus juga, dan belum bisa move on sepenuhnya sampe sekarang. Yang
kalo sekarang ketemu masih speechless. Yang kalo ketemu masih gemeteran. Yang kalo ketemu masih
aduh-aku-harus-ngapain. Yang kalo kata Mamanya Ardhi, “masih bergetar nggak
kalo denger namanya?”
Masih di mantan jaman SMA, ada
yang putus gara-gara hal yang sangat sepele dan sampe sekarang dia masih
menyesal melakukan hal itu. Kejadiannya ya masih sama. Masih bergetar, masih kepoin
sana sini, masih curhat ke sahabat mantannya nanyain gimana dia sekarang. Dan
walaupun udah punya pacar (tapi insekyur), dia masih glundang-glundung nunggu
sms-nya doi.Bahkan dia bersedia merubah kebiasaannya dia demi balikan, yang
nggak pacaran, tapi cukup komitmen.
Yang ini cinta di masa kuliah, putus
sama mantannya karena cinta beda agama. Padahal langkah mereka tinggal ngasih
proposal ke orang tua. Dan sampe sekarang kalo mereka ketemu di acara reunian
masih suka bahagia berdua dan sifat-sifat mudanya keluar.
Dan ada juga yangmerasa udah
punya kisah paling indah. Dari cara ketemu sampe cara jadian. Yang kemana-mana
bareng. Yang suka membagi kebahagiaan mereka dengan kartu ucapan selamat ultah
dengan foto mereka berdua. Yang nungguin pasangannya dateng untuk mulai makan di
acara ulang tahun sahabat mereka, walaupun itu rame dan yang lain udah mau
selesai. Yang setiap minggu mereka gembira rencanain mau jalan kemana. Yang
mereka udah sangat cocok, yang satu udah menemukan figurnya dan yang satu udah
senyamannya pasangan. Yang mereka udah jadi moodbooster satu sama lain. Yang
good-morningnya selalu bright-up harinya. Yang akhirnya sayang satu sama lain
mereka berlebih, sayang mereka udah nggak membebaskan, mulai risih dengan
perhatian posesifnya. Akhirnya putus dan janji-janji mereka jadi janji pengecut
satu per satu. Yang satu diantara mereka udah nggak percaya lagi satu sama
lain. Yang ini too good to be true-nya saya.
Di dunia ini nggak ada too good
to be true sebenernya, karena kita yang bikin sendiri too good-nya. Too good is
just matter of perspective. Di dalem diri aja udah bilang too good apalagi di
luar? Karena semua orang mencari orang yang perfect bagi dia, yang bisa
menerima apa adanya tapi juga punya visi, yang bersabar dalam situasi apapun tapi
punya opini untuk nyanggah satu sama lain, atau apalah idealmu. Tapi sebenernya
kita hanya perlu orang yang benar menjadi dirinya sendiri di depan kita, dan
kita menjadi diri kita sendiri di depan dia. You don’t need perfect person, you
need honest person.