Wednesday, May 11, 2016

Skripsi

Semester ini aku cuma ambil 1 mata kuliah, hari Selasa, ngulang mata kuliah yang nilainya harus aman kalo mau ambil S2. Mau ngambil S2 atau enggak, yang penting nilainya beres dulu. Di kelas itu angkatan 2012 nggak banyak, yang sedikit itu biasanya dateng mepet, duduk di belakang, dan kerjaannya ngobrolin update-update terbaru di kampus. Maklum udah jarang ke kampus.

Karena ada fase dimana ke kampus dalam seminggu bisa dihitung jari. Dimana komunikasi sama angkatan longgar. Dimana kamu sering ke TU atau ruang dosen. Dimana tiba-tiba kamu intens WhatsApp sama dosen. Dimana kamu ngerasa waktumu nggak banyak.


Skripsi.

Spotku di kantor udah begitu. Komputer gawe, laptop isi batre buat nyari spot enak buat lanjut nulis artikel, dan to do list yang antri dicoret. Tight. Apalagi untuk aku yang nggak biasa dengan tata tulis dan bahasa ilmiah, nulis ini butuh waktu untuk memahami. Nggak tau ini perks of being psychology students atau emang semua dosen pembimbing skripsi kaya gini. Jadi ceritanya di tahap awal banget dari skripsi, dimana tulisan masih belum terarah yang ilmiah, dosen malah kasih tau karakterku dari tulisan artikelku.

Dan dosen memberi tahu sesuatu tentang penulisan ilmiah. Skripsi ini adalah sebuah argumen yang kamu buat, dimana di dalamnya kamu nggak bisa selalu menjadi center atau mendominasi pembicaraan, dalam kasus pembicaraan yang dimaksud adalah antara penulis dan pembaca artikel. Skripsi ini adalah perwakilan dari pola pikirmu, dimana rasamu juga harus terasa hingga ke baris selanjutnya. Skripsi ini adalah sebuah argumen yang kamu buat, dimana asumsi itu membunuh. Skripsi ini adalah belief dari apa yang kamu pelajari, bukan hanya barisan teori tentang suatu tragedi. Apapun jurusanmu.

Setiap orang punya beliefnya masing-masing. Setiap orang punya argumen masing-masing. Setiap orang punya proses dan cara sendiri dalam menjelaskan belief yang dimilikinya ke orang lain. Jadilah skripsi adalah sebuah karya, hasil cita, rasa, dan karsa. Karya seni sederhana yang semua mahasiswa bisa reka.

Monday, May 2, 2016

Salah Gue? Temen-temen Gue? #AADC2

There is some magic on moving picture sequence called movie. Batman The Dark Knight Rises, 500 Days of Summer, Janji Joni, Banyu Biru, Shawshank Redemption, dan The Simpsons Movie (big fans!), adalah beberapa film yang aku tonton berkali-kali, sampe sempet aku hapus file filmnya, kangen lagi, cari lagi, tonton lagi.

Beda dengan bioskop, nggak banyak film yang sampe ditonton sampe dua kali di bioskop. Karena dari film rilis, tunggu 2 bulan, tau tau ruangan sebelah udah bawa file HD nya. Dan ada apa dengan cinta 2, bukan film yang bakal keluar selain di bioskop (idk, DVDs?). Tapi karena itu, aku nonton dua kali.

Nonton pertama, bareng sama anak-anak yang emang concern sama update-update film awarding toronto cannes what ever it is, semua film doyan, ya, anak-anak yang dulunya kuliah komunikasi. Nonton kedua bareng sama orang-orang yang suka tentang hal-hal hype dan apapun itu film yang ditonton harus jelas, ya karena mereka ga banyak waktu, anak-anak yang baru persiapan coas dokter, anak-anak dari fakultas kedokteran. Jokesnya beda, hal menariknya beda, perspektif beda. Let's see perbandingannya.

Setting lokasi film ini ada di 3 kota, New York, Jakarta, dan Jogjakarta. Beauty shoot dari ketiga film itu cukup oke, nggak ada drone karena ini film drama which is nggak perlu banyak dramatic scene tentang lokasi. Visual comedy di film ini dapet banget. Ekspresi, visual contrast, camera movement, dan bahkan beberapa local content macam "awas asu" atau "ngebut benjut" yang pas nonton di studio pasti ngakak mau nonton sama segmen yang mana. Tapi sayangnya ada beberapa scene yang itu nggak halus movementnya, bahasa jawanya "nggredek".

AADC 2 mengambil konflik orang dewasa awal mau ke tengah, jodoh & nikah. Masalah yang sangat universal. Bagi anak komunikasi sih santay aja kali ya, just another life issues in movie, anak kedokteran, baper. Nggak semua juga sih.

Bahasa-bahasa yang diangkat pun masih ada bahasa angkatan 90an salah satunya "bokis" yang sekarang udah jarang terdengar. Langsung ngira kalo target primer film ini emang orang-orang yang tumbuh dengan nonton film AADC pertama. Reuni geng, konflik personal interest, dan ego masih bakal keliatan di film ini. Enough for the plot.

Yang paling keliatan dari film ini adalah product placementnya, LINE, L'Oreal, Aqua, Lenovo, dan Mitsubishi. LINE, L'Oreal, dan Aqua masih haluslah. Mitsubishi yang statementnya kuat banget. Spoiler alert: ada scene dimana cewek naik Pajero putih, ngebut, lincah, tiba-tiba ada truck masuk, oleng, dan selamet. Usaha untuk membuktikan bahwa Pajero-nggak-bakal-muter-atau-salto-pas-banting-setir dibikin bagus, tapi malah membuat kekonyolan dan terkesan dipaksakan.

Salah satu temenku pernah bilang kalo beberapa dari orang di luar sana ada orang yang saling jatuh cinta, tapi ada beberapa juga yang cintanya sementara, diwaktu yang salah, terlambat, bahkan selamanya. Film ini bisa membuktikan kata-kata di atas dengan halus walaupun satu dua plot hole masih bisa dimaklumi.

Sekian review dari saya.