Tuesday, August 22, 2017

Skripsi: The End

Suatu malam di ekologi, tiga hari sebelum ujian skripsi, saya mengajak tiga orang lainnya untuk berusaha mencari kata yang tepat untuk dikatakan pada saat ujian skripsi. Empat puluh lima menit waktu yang diperlukan untuk saya mempertanyakan diri sendiri "saya ini bakat nulis ilmiah nggak sih?"

Psikologi adalah sudut pandang yang saya ambil untuk memandang dunia setelah lulus dari sekolah menengah. Mengambil jurusan di universitas bukan berarti masuk dalam satu ruangan tertutup dari beberapa ruangan yang bernama jurusan dan fakultas, tetapi memilih pintu sudut pandang dari satu ruangan besar bernama kehidupan.

Psikologi memberi saya kesempatan untuk mempelajari manusia dan pertanyaan yang menyertainya, apa, bagaimana, dimana, kapan, mengapa, dan siapa. Skripsi adalah salah satu media untuk mendapatkan jawaban valid dan reliabel atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, dalam hal ini saya ingin mendapatkan jawaban tentang quality of work life dari seorang pekerja yang memilih bekerja sebagai pekerja bebas atau freelancer. 

Menulis ilmiah atau skripsi menuntut seseorang untuk dapat memisahkan delusi dan realita. Saya  kesusahan dalam memisahkan antara keduanya. Sebelum penentuan antara delusi dan realita terjadi, terjadi proses persepsi. Proses pembentukan persepsi berawal dari attention yang manusia berikan atas sesuatu dari enam indera, yang kemudian di encode oleh otak, diolah menurut referensi pribadi, dan jadilah persepsi. Persepsi bagi saya adalah hal yang personal, bahkan sesuatu hal yang disebut objektif adalah subjektif yang disepakati. Maka saya lebih memilih menggunakan kata favorite reality dari pada reality itu sendiri.

Beberapa alternatif kegiatan sudah ditawarkan untuk menyambung kegiatan setelah selesai skripsi, salah satunya S2. Salah satu teman juga memberi komentar di instagram apakah saya akan mengikuti jejak teman saya yang keluar kandang macan dan masuk mulut buaya (re: S2) setelah selesai. Untuk memisahkan delusi dan realita saat menulis skripsi saja membutuhkan waktu, bagaimana dengan S2? Saya bersedia untuk melanjutkan S2, hanya jika dengan S2 saya akan melihat ruang kehidupan menjadi lebih besar dan mulia dari ruang kecil yang saya miliki sekarang, entah saya akan belajar di kelas universitas lagi tentang manusia, asal usul budaya, wujud-wujud persimbolan, atau belajar tentang bahasa. Atau saya akan belajar menghilangkan keakuan di dalam tulisan saya melalui dunia nyata.

Selesai menyusun kata-kata untuk ujian skripsi, pembicaraan berlanjut tentang urgensi pengakuan sosial atas pekerjaan seseorang, berawal dari hasil penelitian saya bahwa freelancer hanya membutuhkan pengakuan dari lingkaran sosial terdekatnya, tidak perlu mendapat pengakuan dari masyarakat instagram atau linkedin. Karena esensi dari bekerja adalah aktualisasi diri dan memastikan orang-orang di sekitar kita bertahan hidup.

Pukul sebelas malam masing-masing dari kami pamit dan saya berterima kasih karena sudah membantu membuat urutan kata-kata untuk ujian skripsi dari orang-orang yang sudah pernah ujian skripsi. Saat memasukkan laptop dan skirpsi dalam tas, lalu saya menyadari, tidak penting apakah skripsi yang saya akan bawa saat ujian ini wujud dari bakat atau tidaknya dalam menulis ilmiah. Karena esensi dari menulis ilmiah ini adalah tentang aktualisasi diri dan memastikan seseorang memiliki favorite reality yang baru.

Selamat bertemu dalam ruang selanjutnya, universitas!

Thursday, January 26, 2017

Unmeasureable Love

Ada beberapa film yang punya after taste kuat setelah selesai menontonnya. A beautiful mind (2001) salah satunya. Film tentang John Nash, profesor matematika yang menderita skizophernia. Skizophrenia adalah salah satu psychology abnormality yang penderitanya akan mengalami delusi dari inderanya, umunya berwujud suara atau visual. Di dalam film ini Ron Howard bisa menggambarkan secara nyata abnormalitas ini. Beberapa scene dibuat untuk audience merasa empati dengan John Nash, empati terhadap abnormalitas, dan empati karena audience merasa mengalami skizophrenia.

Beberapa dari kamu mungkin juga akan merasa mengalami apa yang dialami John Nash, mendengar bisikan untuk membunuh seseorang, what if your inner voice is this whisper?

Beberapa dari kamu mungkin juga akan merasa mengalami apa yang dialami John Nash, merasa diikuti seseorang kapanpun dimanapun, what if people you meet everyday is not real?

Beberapa dari kamu mungkin juga akan merasa mengalami apa yang dialami John Nash, berinteraksi dengan seseorang, yang orang lain nggak bisa melihat wujud visualnya, what if nobody can't see the last person you talk with?

This is getting dark.

Empati emang salah satu hal yang membuat manusia menjadi manusia. Ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Secara tidak langsung mendengarkan dan sependapat dengan keadaan yang dialami oleh orang lain. Menjadi satu sepemikiran dan seperasaan dengan orang lain.

Memang psikologi pada intinya adalah tentang bagaimana mengerti manusia. Field of study nya memang manusia, secara logis, semua variabel yang diajarkan memang berobjek manusia.

Happiness, or in psychology called subjective well being, is measureable.

Stress, depression; measureable, even there is stage of it.

Job satisfaction, organizational justice; measureable, even there is indicator that indicate how fair the organisation is.

But the thing called love, unmeasureable, there is theory of it, but very little amount, just one or two. Maybe even you can't put this on your skripsi because it's not enough theory. Maybe there is a lot of bias in variable called love. Maybe logic can't figure it out, maybe scale can't measure it out, but maybe "rasa & karsa" can figure it out, something that we can't tell but we can feel. Like something in deepest of our heart. Like some butterfly in your tummy. Like every struggle that we put to hold every tears.

Tuesday, January 10, 2017

The Thing So-Called-Passion: Passion

Hampir tujuh bulan usia skripsiku, terhitung dari pertama mulai sampai sekarang. Semakin kesini aku semakin mikir kenapa ini nggak selesai-selesai ya? Ternyata ada satu momen yang aku ngerasa aku melakukan kesalahan, suatu sore aku chatting dengan teman lama, di tengah pembicaraan kalau dia ngasih tau bentar lagi mau ke Jepang mau lanjutin studi (apa penelitian?) yang berlangsung dalam hitungan bulan.

"Hah serius kamu ambil topik gitu? Mau skripsi atau thesis?" Sempat diam dengan pertanyaan itu, lalu aku bergumam "bener dugaanku."

Untuk teman-teman yang akan mengambil skripsi, ojo kejeron, jangan mikir terlalu dalem. Pada prinsipnya skripsi adalah untuk mengetes sebuah teori, memvalidasi sebuah teori, membuktikan bahwa teori ini bisa diterapkan pada sebuah situasi yang memiliki syarat yang sama. Perkara itu 3 variabel atau lebih adalah perkara raise the bar aja, karena emang sudah terlalu sering variabel yang kurang dari itu. Masuk thesis baru menentang teori, menyangkal teori, membuktikan teori yang ada itu salah. Baru pada disertasi bikin teori, mensintesiskan hipotesis personal ke ratusan orang yang akan disimpulkan menjadi teori.

Dugaanku semakin kuat setelah beberapa waktu lalu angkatanku dipanggil kampus, orang-orang yang belum kelar skripsi ditanyain satu-satu tentang topik metode dan sebagainya, lalu diberi cara untuk memperingkas skripsi. Jatuhnya di aku, dijawabnya "oiya ditambahin ini ini ini aja biar semakin oke." Tidak diperingkas, malah diperkaya. Topik yang aku ambil mungkin memang dipandang kampus dan dosen sesuatu yang bagus, tapi tidak menguntungkan aku.

No man, i didn't want to humblebrag. Kalau tau gini aku juga bakal bikin yang lebih sederhana kali.

Setidaknya topik yang aku pilih ini sudah sedikit sederhana (kenapa sih bawaannya ribet gini?) dari yang aku pikirkan diawal waktu kuliah ketika ditanyakan tentang gambaran skripsi sama dosen metodologi penelitian, spontan aku jawab "passion." Ibu dosen mengernyitkan alis, "seperti hasrat-hasrat itu ya?" "iya bu" "setau saya itu belum ada teorinya, jadi kalau kamu ambil itu kamu harus nyebar angket ke ratusan orang untuk cari tau passion itu apa." Malah diwisuda S3 aku ntar. Malah disuruh bikin teori. Malah piye.

Sejak saat itu aku tidak melirik lagi topik passion karena memang belum banyak teori, dimensi, dan faktornya. Sejak saat itu pun aku mulai berpikir "kalau teorinya nggak ada, kayanya passion ini gimmick buku deh, jangan-jangan ini emang nggak ada yang namanya passion." Sampai di suatu sore aku bertemu dengan Ardhi, teman SMP yang barusan lulus ujian skripsi dan kompre, ngobrolin tentang kehidupan setelah kuliah, dia bilang dia mau kerja sesuai passion, "emang passion itu apaan?" dia bilang kalau passion itu dimensinya tiga: control, creativity, dan impact.

Apapun yang so-called-passion itu akan tersalurkan kalau kita mempunyai kontrol atas apa yang kita kerjakan, moreover pilihan-pilihan yang setiap hari kita harus pilih. Creativity happens ketika kita bisa mengembangkan apa yang kita kerjakan. Dan impact, ketika apa yang kita kerjakan memberikan pengaruh ke lingkungan, lebih luas industri, moreover diri kita sendiri. Ketika kita punya 3 hal itu disetiap apa yang dikerjakan, maka there is passion all over our life.

Tapi seperti teori-teori yang lain, kamu berhak setuju atau tidak. Kalau percaya maka jalankanlah, carilah hal-hal di atas, make it happens on your life, kalau apa yang kamu kerjakan sekarang tidak menyediakan itu dan meyakini bahwa hidup ini sebuah pilihan, just walk away. Walk away dan temukan.

Untuk yang tidak percaya and then bad things happen because you didn't have any of it, suck it up man. Suck it up.