Thursday, July 3, 2014

The Ability to be Naive

Bangun tidur akhir-akhir ini serasa tidurnya sambil marathon. Bangun-bangun capek. Mimpinya juga aneh-aneh, siang sebelum debat cawapres mimpi Hatta diinjak-injak sama JK, pas tidur dan hujan deres langsung mimpi renang di air terjun. Lereno man.

Semua orang punya sesuatu untuk dipercayai. Agama. Pikiran. Pengalaman. Orang. Kata-kata. Mimpi. Ujian. Tuhan. Yang semua bergabung menjadi satu berwujud intuisi yang membimbing kamu untuk tetap terisi berhati tidak mati.

Bahasa manusia yang kita ciptakan saat ini adalah bahasa yang kita ciptakan sendiri, sesuai akal dan pikiran masing-masing. Sesuai standart perkembangan yang telah orang tetapkan. Walaupun sebenarnya komunikasi yang ada sejak dulu adalah menggambar, gua, dan kamar kecilmu dulu. Disitulah intuisi bekerja. Tanpa kata yang terucap, tanpa kalimat yang bertanda, tanpa tanda yang selalu ada, hanya kamu dan dia intuisi.

Sesuai intuisi manusia bekerja melalui gabungan insting dan nurani. Bermotif seperti hewan bergerak seperti Tuhan. Ada nilai-nilai Tuhan yang manusia berusaha contoh, yang beberapa sudah Nabi berhasil contohkan. Intuisi yang berbisik melalui tulang belakangmu itulah yang menuntunmu dengan mata ke 3 seorang manusia, hatinya.

Hati yang tidak pernah padam akan menjadi penegak terakhir disaat terakhir, disaat pikiran dan tubuh yang sudah tidak. Hati yang tetap, hati yang naif. Pikiran yang tetap, pikiran yang naif. Seseorang mempunyai sosok naifnya. Nggak move on selama 2 tahun, naif. Nggak pernah belajar tapi di portal dapet A, naif. Pengen kenyang gamau gerak, naif. Pengen menang tapi alasan, get a life bro. Udah jelas kalah dan tidak menguntungkan tapi tetap maju, naif. Aturlah naifmu agar kamu naif untuk hari itu, tidak untuk besok atau lusa. Even heroes have a right to bleed.