Friday, July 27, 2012

Semoga Selamat Sampai Tujuan


Petang itu dingin, seperti Jogja akhir-akhir ini yang katanya sampe 17 derajat. Pergi berlalu setelah buber, karena maunya cepet, solatnya di mushalanya SMA 11. Terpaksa ngebut dingin-dingin karena waktu isya dan taraweh udah mepet, nggak mau ketemu sama yang berangkat taraweh awal, malu. Selesai solat jamaah tiba-tiba ada bapak-bapak di belakangku memanggil, suaranya lirih, bergetar, tapi terdengar tegar.

Bapak itu tanya, jalan mana yang paling cepet ke terminal giwangan, karena bingung juga aku jawab pake trans jogja saja, tapi dia menolak, karena dia sambil nuntun motor. Saat ditanya ada apa, ternyata bapak itu motornya rusak, rusak karena oli samping perlu diganti katanya. ‘Tiga kilo ada mas dari sini?’. ‘lebih pak, ya 10 kilo pak paling enggak’. ‘Tadi saya udah lewat bengkel situ mas, ya kali-kali aja ada oli bekas mas bisa diminta, masukin motor biar bisa jalan lagi, tapi nggak bisa, harus beli yang satu kalengan itu mas’.

‘Karena uang saya tinggal 2000 mas’, dia bilang. Ternyata dia disini baru memulai usaha, menjual makanan kecil-kecilan, dia kost di daerah Jombor, aslinya Malang, dan kostnya, baru saja habis dibobol maling. ‘Masya Allah kenapa ya motor saya juga tiba-tiba macet.’ Bapak itu mau pulang ke Malang. Atas saran orang yang dia temui sebelum aku, motornya dititipin di giwangan, nanti ke Malang nebeng truk-truk lewat. Dengan sisa tawakal dan kepercayaan, badan besarnya berlalu dari gapura masjid menuntun Suzuki tuanya menuju rumah.

Terlepas itu tipu-tipu atau bukan.

Kotak Suara Bergambar


Momen puasa emang paling pas bareng temen-temen. Banyak yang berangkat ngaji bareng, maghrib bareng, taraweh bareng, nggak tau juga kalo sahur bareng. Petang itu denger anak-anak dan candanya lewat depan rumah, tiba-tiba tawa mereka pecah setelah ada salah satu dari mereka yang jatuh. Ngakak deng bukan ketawa. Walaupun cuma jatuh bruk biasa, ada sakitnya dong dikit. Generasi OVJ, tertawa diatas jatuhnya orang lain, ngakak diatas musibah orang lain.

Sebenernya semua berawal dari kotak kecil yang mengeluarkan suara dan gambar, tv. Tv itu banyak yang bilang salah satu cara propaganda bangsa barat. Di tv semua berawal: pembuatan isu, pengalihan isu, pembelokan fakta, membuat opini publik, hiburan lalala-yeyeye, hiburan tarakdungces, ftv di Jogja dan Bali, dan banyak lagi. Emang nonton tv itu perlu, tapi idealnya cuma 2 jam per hari.

Sebenernya kita itu punya hak sama tv kita, mau dinonton, apa enggak. Atau sekarang kewajiban nonton. Kalo enggak nonton infotainment kaya berkurang umurnya. Kalo enggak nonton drama korea kaya kangennya sama mantan kucing yang ditinggal mati. Kalo enggak nonton barca, berasa kaya kehilangan hape (aku). Horotoyoh.

Bapak pernah cerita, mahasiswanya ada yang mengajukan naskah sinetron ke seorang produser, tanpa ada perselingkuhan, tanpa ada marah-marahan, tanpa ada tragedi. Pokoknya isinya cuma seneng damai sejahtera. Langsung ditolak mentah-mentah sama produser. Karena bagi produser yang kaya gitu nggak ada isinya, nggak laku.

Sampai AS Laksana bilang, ‘ketika ada acara yang lebih baik lebih inspiratif, banyak yang lebih memilih merendahkan kecerdasan sendiri dengan menonton yang seperti itu.’

Thursday, July 19, 2012

Elektronika Canggih


BlackBerry diprediksi bakal punah tahun 2015. Padahal baru happening 2010 kesini. Cepet banget dunia berubah. Perubahan yang kalo diikuti malah menyengsarakan. Perubahan handphone sangat cepat. Handphone ada awalnya cuman buat alat komunikasi. Semakin kesini semakin banyak fitur. Teknologi malah tidak membuat sederhana.

Teknologi itu lama-lama juga semakin lucu. Dunia maya, dunia yang kasat mata dan tidak nyata, lama berganti. Mana yang maya mana yang nyata. Contoh lucu: beberapa orang berada disuatu tempat yang sama semua sibuk sama hp masing-masing.

Bahkan ada salah satu sindrom baru namanya nofonphobia. Sindrom nggak bisa lepas pegang hp. Bahkan tidur juga ngetik sms/ bbm. Pernah bayangin dulu sebelum ada hp gitu cara orang dulu mengusir kecanggungan pake apa? Selama nunggu ngapain? Kalo ngrundel dimana? Tanpa pegang hp nggak bikin kita matik.

Pada dasarnya teknologi itu membantu kita, bukan menuntun kita. Selalu ada alasan dan tujuan dibuatnya teknologi dan inovasi , seperti adanya alasan kita turun ke dunia ini.

Saturday, July 14, 2012

Gile, Mahasiswa!


Gile ndro udah mahasiswa ndro. Tapi mimpi masuk UGM nggak kesampaian. Mana janji manismu GO gitu ya. Ada yang bilang yang SNMPTN ini rada ganjil karena uang mainlah, gara-gara masukin banyak yang luar jogja karena sempet dicibir dulu pas pemilihan rektorlah, gara-gara titiplah apalah, ya namanya juga orang kecewa, namanya orang dicampakan, gagal ya mari kita terima gagal, mau apa yang terjadi ya itu udah terjadi, rencana Tuhan lebih indah daripada gagal SNMPTN.

Pernah dulu masa pulang malem, pas dicap rumah itu cuma tempat transit, pas hot-hotnya GPBT 2011, pensi itu, aku sama Qodri nunggu Bu Budi di pendopo rumahnya. Kata pembantunya Bu Budi baru jagong, karena deadline ketat, konsul malem itu tetep jalan dan nunggu Bu Budi sedatengnya. Bukan ini bukan mau cerita horor. Nunggu dari habis maghrib, kami ngisi perut dulu di angkringan depan sambas, langganan baru-baru itu. Kita sampe lagi di pendopo sekitar jam 8, Bu Budi belom dateng juga. Di pendopo ada beberapa ibu-ibu yang baru ngobrol mau latihan nari, gerak-geriknya sih mau buat event. Daripada dingin ngantuk, ngobrolah kita berdua, lama-kelamaan keluar topik mahasiswa, kuliah, kerja, mau jadi apa besok, mau makan apa besok.

Katanya kalo kerja sesuai passion, sesuai yang disuka. Kalo udah gitu nanti uang bakal mengalir entah dari mana. Sesuainya law of attraction sih juga gitu. Obrolan yang mulai menua itu tiba-tiba terhamburkan suara gamelan yang muncul dari tape pojok pendopo. Obrolan terhenti, aku dan Qodri mempesonakan diri untuk melihat lambaian per lambaian. Sekali dua kali tarian diulangi kami masih memperhatikan. Tepat setengah sepuluh satu dari anggota penari baru datang yang emang dari tadi bolong satu polanya. Datang santai dan ibu yang diantar suaminya itu langsung membaur, ibu itu terlihat paling sederhana, diantar dengan astrea dan berjaket dan syal butut, dan yang lain bermobil atau minimal matic keluaran anyar.

Dengan lengkapnya jumlah penari, polanya semakin enak dilihat. Gerakan halus itu begitu membisukan, lambaian pelan dengan sampur itu begitu mempesona. Sempurna, dengan senyum simpul tulus dibalik muka. Passion itu begitu terasa, passion itu begitu terpancar.

Bentar, diksi post ini bikin mendayu sumpah.

Sejak itu aku tau rasanya passion itu, tau atmosfernya, tau hayatnya. Kalo aku ditanya passion itu apa, ya jawabnya senyum simpul tulus dibalik muka penari itu. Berkat itu, ingin mencari passion sebelum masuk kuliah, maksimal tengah kuliah. Mulai mencari bakat dan minat. Mulai mencari kemungkinan jalan menelusuri yang ada hubungannya. Mengerucut dikalimat ‘seneng melihat orang seneng ketika menjadi lebih baik’. Maunya psikologi, desain komunikasi visual, fotografi, atau film maker.

Karena nggak mau pilihan SNMPTN cuma satu, satunya aku pilih komunikasi. Mewartawan. Yang penting masih bisa ‘kerja bebas’ atau membagi kisah bahagia satu orang ke orang lain. Direstui. Desain sama fotografi masuk di DKV, jalur yang pas ISI.  Direstui (awalnya usul bapak juga). Film maker? MMTC. Yang ini enggak direstui, mungkin bapak nggak mau punya peran ganda sebagai dosen dan bapak.

SNMPTN nggak masuk, saat itu ISI belom daftar (karena memutuskan masuk ISI itu belom mantep-mantep), nggak punya cadangan, malem pengumuman itu rasanya pemutusan pengangguran. Besoknya mulai beli formulir ISI dan ikut jalur PMDK psikologi UAD. Kata bapak paling utama saat ini akreditasinya, kalo A udah masuk pertimbangan pas cari kerja. Walaupun kalo dihadapkan sama akreditasinya, tetep yang unggul nama universitasnya, dan itu yang berusaha dikejar. Semoga aja lancar kuliah terus bisa langsung ambil kuliah profesi di UGM.

UGM  bukan segalanya. Emang karismanya masih diatas universitas lain. Kalo anak SMA Jogja ditanya mau kuliah dimana, jawabnya ya UGM. UGM bisa karismanya segede ini karena tipak jejak para alumnus yang udah tinggi. Universitas senior sih, alumnus udah pada sukses semua. Diatas itu semua emang ada nilai-nilai yang nggak didapetin dari universitas lain, apalah itu pasti langsung kerasa, oh ini anak UGM.

Karena esensi dari pendidikan itu ilmunya, bukan gelarnya. Mas Lambang yang punya aizza computer, lulusan AA YKPN, yang tiap malem sms buat promosi itu, bisa jadi orang kaya muda. Dahlan Iskan, mentri BUMN itu ‘cuma’ punya embel-embel haji. Butet, monolog yang kacamatanya bullet itu DO ISI, juga bisa bikin rumah makan Bu Ageng. Steve Jobs? DO.

UGM bisa seperti ini karena ada perintis. Kita yang nggak masuk UGM ini, adalah perintis almamater kita, entah itu UAD, UPN, UMY, Sanata Dharma, UMS, UII, Amikom banyak lagi. Peluang kita menyamakan ‘derajat’nya sama UGM. Kalo berhasil, wow. Nilai yang ada di UGM itu juga bisa kita dapetin di dunia luar. Dengan catatan kita nggak boleh meratapi lagi ‘aku bukan anak UGM’. Kita perintis, peraih, dan meraih lebih susah dari pada mempertahankan. Mempertahankan apa yang ada dipertahankan anak UGM. Underdog, tanpa pressure, langkah kita ringan langkah kita mudah.

Asal jurusan yang kita ambil sesuai dengan kemauan, sesuai dengan passion itu tadi, mau kuliah dimana juga bisa banget sukses. Kalo kuliah males-malesan seringnya titip absen dan target absen cuma minimal ikut ujian, dari universitas mana aja nasibnya sama semua. Semua orang itu punya kemampuan punya kemauan, cuma belom seluruh potensinya aja keliatan.

Kalo masuk UGM itu mainstream, kamu anti-mainstream sekarang. Setidaknya sampai S1 selesai.