Ada satu teman saya yang usianya terasa lebih tua dari kelihatannya. Aku curiga dia mencuri umur barang 2 tahun di kartu keluarga sebelum masuk sekolah. Namanya Alan. Dia terasa lebih tua karena sudut pandang yang dia punya lebih tua dari orang seusianya, termasuk pertanyaan, dan caranya memproses pengalaman sehari-hari.
Satu sore ketika kami bersama di daerah Pogung, Alan bertanya, "kamu bikin playlist kenapa?"
"Soalnya spotify-ku nggak premium Lan". Bukan, bukan itu jawaban yang dibutuhkan Alan.
Playlist bagi saya adalah rangkuman pengalaman yang ingin saya maknai tertentu. Contoh ada satu playlist berjudul no agenda tomorrow. Saat membuat playlist itu saya membayangkan sedang tertarik dengan satu wanita, tapi karena kesibukan kami hanya sempat bertemu sesempatnya setelah pulang kerja. Bayangkan baru saja bertemu, mau pergi keluar sudah terlalu malam, mau pulang dan istirahat masih terlalu sore (dan masih terlalu kangen, barangkali). Maka dari itu saya tulis dalam deskripsi playlist-nya "too early to sleep, too late to go out. How about lay down and tell me something about you?"
Atau playlist yang berjudul sanur. Dengan memutar sanur saya membayangkan sedang dalam suasana santai seperti di alam Sanur, Bali. Saya memilih kata sanur karena dengan mendengarkan lagu santai tidak lantas kita lari dari masalah. Santai bagi sanur adalah cara hidup, lakon sehari-hari. Bekerja dengan santai, makan dengan santai, jalan dengan santai menyadari setiap langkah yang diambil. Santai dan stress bukan seperti kata kebalikan, tapi kelengkapan. Seperti Sanur Bali yang ditinggali orang-orang yang cenderung lebih tua dari pada daerah lain di Bali Selatan. Orang-orangnya santai tapi sembodo.
Ada satu playlist yang saya cukup lama memaknainya. Yaitu playlist pura vida. Awalnya saya menemukan pura vida dari ungkapan khas di kawasan Amerika Tengah yang berarti simple life atau pure life. Saudara satu equator. Saya selalu memandang kawasan yang berada pada sekitar equator bumi adalah saudara, karena cenderung memiliki kondisi yang sama, perilaku budaya yang sama, inti pandangan yang sama, dan suasana yang sama. Tapi kalau deskripsi playlist pura vida ditulis "pure life" kenapa saya rasa belum tepat juga ya?
Jika digali lebih dalam, pura vida seolah-olah punya makna yang sama seperti hakuna matata. Sama juga dengan "this too shall pass" sebuah ungkapan dari orang Persia kerajaan. Seperti konsep impermanence yang dibahas di dalam ruang dhamasala vihara. Bahkan makna yang sama tertuang di 2 Corinthians 4:17-18 tentang keberadaan masalah itu tidak permanen, enteng saja, hidup simpel saja!
Pura vida lalu saya simpulkan sebagai sebuah daya hidup yang setiap kita punya. Yang selalu nyala di dalam walaupun luaran sedang muram. Yang selalu di sana walaupun tidak selalu diakui ada. Yang menjadi panggilan untuk hidup enteng saja, karena batu kerikil akan selalu ada, tapi akan terlewat juga, habis dilewati nanti juga bakal ada kerikil lagi, yang penting hidup enteng saja!
No comments:
Post a Comment