Saturday, July 14, 2012

Gile, Mahasiswa!


Gile ndro udah mahasiswa ndro. Tapi mimpi masuk UGM nggak kesampaian. Mana janji manismu GO gitu ya. Ada yang bilang yang SNMPTN ini rada ganjil karena uang mainlah, gara-gara masukin banyak yang luar jogja karena sempet dicibir dulu pas pemilihan rektorlah, gara-gara titiplah apalah, ya namanya juga orang kecewa, namanya orang dicampakan, gagal ya mari kita terima gagal, mau apa yang terjadi ya itu udah terjadi, rencana Tuhan lebih indah daripada gagal SNMPTN.

Pernah dulu masa pulang malem, pas dicap rumah itu cuma tempat transit, pas hot-hotnya GPBT 2011, pensi itu, aku sama Qodri nunggu Bu Budi di pendopo rumahnya. Kata pembantunya Bu Budi baru jagong, karena deadline ketat, konsul malem itu tetep jalan dan nunggu Bu Budi sedatengnya. Bukan ini bukan mau cerita horor. Nunggu dari habis maghrib, kami ngisi perut dulu di angkringan depan sambas, langganan baru-baru itu. Kita sampe lagi di pendopo sekitar jam 8, Bu Budi belom dateng juga. Di pendopo ada beberapa ibu-ibu yang baru ngobrol mau latihan nari, gerak-geriknya sih mau buat event. Daripada dingin ngantuk, ngobrolah kita berdua, lama-kelamaan keluar topik mahasiswa, kuliah, kerja, mau jadi apa besok, mau makan apa besok.

Katanya kalo kerja sesuai passion, sesuai yang disuka. Kalo udah gitu nanti uang bakal mengalir entah dari mana. Sesuainya law of attraction sih juga gitu. Obrolan yang mulai menua itu tiba-tiba terhamburkan suara gamelan yang muncul dari tape pojok pendopo. Obrolan terhenti, aku dan Qodri mempesonakan diri untuk melihat lambaian per lambaian. Sekali dua kali tarian diulangi kami masih memperhatikan. Tepat setengah sepuluh satu dari anggota penari baru datang yang emang dari tadi bolong satu polanya. Datang santai dan ibu yang diantar suaminya itu langsung membaur, ibu itu terlihat paling sederhana, diantar dengan astrea dan berjaket dan syal butut, dan yang lain bermobil atau minimal matic keluaran anyar.

Dengan lengkapnya jumlah penari, polanya semakin enak dilihat. Gerakan halus itu begitu membisukan, lambaian pelan dengan sampur itu begitu mempesona. Sempurna, dengan senyum simpul tulus dibalik muka. Passion itu begitu terasa, passion itu begitu terpancar.

Bentar, diksi post ini bikin mendayu sumpah.

Sejak itu aku tau rasanya passion itu, tau atmosfernya, tau hayatnya. Kalo aku ditanya passion itu apa, ya jawabnya senyum simpul tulus dibalik muka penari itu. Berkat itu, ingin mencari passion sebelum masuk kuliah, maksimal tengah kuliah. Mulai mencari bakat dan minat. Mulai mencari kemungkinan jalan menelusuri yang ada hubungannya. Mengerucut dikalimat ‘seneng melihat orang seneng ketika menjadi lebih baik’. Maunya psikologi, desain komunikasi visual, fotografi, atau film maker.

Karena nggak mau pilihan SNMPTN cuma satu, satunya aku pilih komunikasi. Mewartawan. Yang penting masih bisa ‘kerja bebas’ atau membagi kisah bahagia satu orang ke orang lain. Direstui. Desain sama fotografi masuk di DKV, jalur yang pas ISI.  Direstui (awalnya usul bapak juga). Film maker? MMTC. Yang ini enggak direstui, mungkin bapak nggak mau punya peran ganda sebagai dosen dan bapak.

SNMPTN nggak masuk, saat itu ISI belom daftar (karena memutuskan masuk ISI itu belom mantep-mantep), nggak punya cadangan, malem pengumuman itu rasanya pemutusan pengangguran. Besoknya mulai beli formulir ISI dan ikut jalur PMDK psikologi UAD. Kata bapak paling utama saat ini akreditasinya, kalo A udah masuk pertimbangan pas cari kerja. Walaupun kalo dihadapkan sama akreditasinya, tetep yang unggul nama universitasnya, dan itu yang berusaha dikejar. Semoga aja lancar kuliah terus bisa langsung ambil kuliah profesi di UGM.

UGM  bukan segalanya. Emang karismanya masih diatas universitas lain. Kalo anak SMA Jogja ditanya mau kuliah dimana, jawabnya ya UGM. UGM bisa karismanya segede ini karena tipak jejak para alumnus yang udah tinggi. Universitas senior sih, alumnus udah pada sukses semua. Diatas itu semua emang ada nilai-nilai yang nggak didapetin dari universitas lain, apalah itu pasti langsung kerasa, oh ini anak UGM.

Karena esensi dari pendidikan itu ilmunya, bukan gelarnya. Mas Lambang yang punya aizza computer, lulusan AA YKPN, yang tiap malem sms buat promosi itu, bisa jadi orang kaya muda. Dahlan Iskan, mentri BUMN itu ‘cuma’ punya embel-embel haji. Butet, monolog yang kacamatanya bullet itu DO ISI, juga bisa bikin rumah makan Bu Ageng. Steve Jobs? DO.

UGM bisa seperti ini karena ada perintis. Kita yang nggak masuk UGM ini, adalah perintis almamater kita, entah itu UAD, UPN, UMY, Sanata Dharma, UMS, UII, Amikom banyak lagi. Peluang kita menyamakan ‘derajat’nya sama UGM. Kalo berhasil, wow. Nilai yang ada di UGM itu juga bisa kita dapetin di dunia luar. Dengan catatan kita nggak boleh meratapi lagi ‘aku bukan anak UGM’. Kita perintis, peraih, dan meraih lebih susah dari pada mempertahankan. Mempertahankan apa yang ada dipertahankan anak UGM. Underdog, tanpa pressure, langkah kita ringan langkah kita mudah.

Asal jurusan yang kita ambil sesuai dengan kemauan, sesuai dengan passion itu tadi, mau kuliah dimana juga bisa banget sukses. Kalo kuliah males-malesan seringnya titip absen dan target absen cuma minimal ikut ujian, dari universitas mana aja nasibnya sama semua. Semua orang itu punya kemampuan punya kemauan, cuma belom seluruh potensinya aja keliatan.

Kalo masuk UGM itu mainstream, kamu anti-mainstream sekarang. Setidaknya sampai S1 selesai.

No comments:

Post a Comment