Gile ndro udah mahasiswa ndro.
Tapi mimpi masuk UGM nggak kesampaian. Mana janji manismu GO gitu ya. Ada yang
bilang yang SNMPTN ini rada ganjil karena uang mainlah, gara-gara masukin
banyak yang luar jogja karena sempet dicibir dulu pas pemilihan rektorlah,
gara-gara titiplah apalah, ya namanya juga orang kecewa, namanya orang
dicampakan, gagal ya mari kita terima gagal, mau apa yang terjadi ya itu udah
terjadi, rencana Tuhan lebih indah daripada gagal SNMPTN.
Pernah dulu masa pulang malem, pas
dicap rumah itu cuma tempat transit, pas hot-hotnya GPBT 2011, pensi itu, aku
sama Qodri nunggu Bu Budi di pendopo rumahnya. Kata pembantunya Bu Budi baru
jagong, karena deadline ketat, konsul malem itu tetep jalan dan nunggu Bu Budi
sedatengnya. Bukan ini bukan mau cerita horor. Nunggu dari habis maghrib, kami
ngisi perut dulu di angkringan depan sambas, langganan baru-baru itu. Kita
sampe lagi di pendopo sekitar jam 8, Bu Budi belom dateng juga. Di pendopo ada
beberapa ibu-ibu yang baru ngobrol mau latihan nari, gerak-geriknya sih mau
buat event. Daripada dingin ngantuk, ngobrolah kita berdua, lama-kelamaan keluar
topik mahasiswa, kuliah, kerja, mau jadi apa besok, mau makan apa besok.
Katanya kalo kerja sesuai
passion, sesuai yang disuka. Kalo udah gitu nanti uang bakal mengalir entah
dari mana. Sesuainya law of attraction sih juga gitu. Obrolan yang mulai menua
itu tiba-tiba terhamburkan suara gamelan yang muncul dari tape pojok pendopo.
Obrolan terhenti, aku dan Qodri mempesonakan diri untuk melihat lambaian per
lambaian. Sekali dua kali tarian diulangi kami masih memperhatikan. Tepat
setengah sepuluh satu dari anggota penari baru datang yang emang dari tadi
bolong satu polanya. Datang santai dan ibu yang diantar suaminya itu langsung
membaur, ibu itu terlihat paling sederhana, diantar dengan astrea dan berjaket
dan syal butut, dan yang lain bermobil atau minimal matic keluaran anyar.
Dengan lengkapnya jumlah penari,
polanya semakin enak dilihat. Gerakan halus itu begitu membisukan, lambaian
pelan dengan sampur itu begitu mempesona. Sempurna, dengan senyum simpul tulus
dibalik muka. Passion itu begitu terasa, passion itu begitu terpancar.
Bentar, diksi post ini bikin
mendayu sumpah.
Sejak itu aku tau rasanya passion
itu, tau atmosfernya, tau hayatnya. Kalo aku ditanya passion itu apa, ya
jawabnya senyum simpul tulus dibalik muka penari itu. Berkat itu, ingin mencari
passion sebelum masuk kuliah, maksimal tengah kuliah. Mulai mencari bakat dan
minat. Mulai mencari kemungkinan jalan menelusuri yang ada hubungannya.
Mengerucut dikalimat ‘seneng melihat orang seneng ketika menjadi lebih baik’.
Maunya psikologi, desain komunikasi visual, fotografi, atau film maker.
Karena nggak mau pilihan SNMPTN
cuma satu, satunya aku pilih komunikasi. Mewartawan. Yang penting masih bisa ‘kerja
bebas’ atau membagi kisah bahagia satu orang ke orang lain. Direstui. Desain
sama fotografi masuk di DKV, jalur yang pas ISI. Direstui (awalnya usul bapak juga). Film
maker? MMTC. Yang ini enggak direstui, mungkin bapak nggak mau punya peran ganda
sebagai dosen dan bapak.
SNMPTN nggak masuk, saat itu ISI
belom daftar (karena memutuskan masuk ISI itu belom mantep-mantep), nggak punya
cadangan, malem pengumuman itu rasanya pemutusan pengangguran. Besoknya mulai
beli formulir ISI dan ikut jalur PMDK psikologi UAD. Kata bapak paling utama
saat ini akreditasinya, kalo A udah masuk pertimbangan pas cari kerja. Walaupun
kalo dihadapkan sama akreditasinya, tetep yang unggul nama universitasnya, dan
itu yang berusaha dikejar. Semoga aja lancar kuliah terus bisa langsung ambil
kuliah profesi di UGM.
UGM bukan segalanya. Emang karismanya masih diatas
universitas lain. Kalo anak SMA Jogja ditanya mau kuliah dimana, jawabnya ya
UGM. UGM bisa karismanya segede ini karena tipak jejak para alumnus yang udah
tinggi. Universitas senior sih, alumnus udah pada sukses semua. Diatas itu
semua emang ada nilai-nilai yang nggak didapetin dari universitas lain, apalah
itu pasti langsung kerasa, oh ini anak UGM.
Karena esensi dari pendidikan itu
ilmunya, bukan gelarnya. Mas Lambang yang punya aizza computer, lulusan AA
YKPN, yang tiap malem sms buat promosi itu, bisa jadi orang kaya muda. Dahlan
Iskan, mentri BUMN itu ‘cuma’ punya embel-embel haji. Butet, monolog yang
kacamatanya bullet itu DO ISI, juga bisa bikin rumah makan Bu Ageng. Steve
Jobs? DO.
UGM bisa seperti ini karena ada
perintis. Kita yang nggak masuk UGM ini, adalah perintis almamater kita, entah
itu UAD, UPN, UMY, Sanata Dharma, UMS, UII, Amikom banyak lagi. Peluang kita menyamakan
‘derajat’nya sama UGM. Kalo berhasil, wow. Nilai yang ada di UGM itu juga bisa
kita dapetin di dunia luar. Dengan catatan kita nggak boleh meratapi lagi ‘aku
bukan anak UGM’. Kita perintis, peraih, dan meraih lebih susah dari pada
mempertahankan. Mempertahankan apa yang ada dipertahankan anak UGM. Underdog,
tanpa pressure, langkah kita ringan langkah kita mudah.
Asal jurusan yang kita ambil
sesuai dengan kemauan, sesuai dengan passion itu tadi, mau kuliah dimana juga
bisa banget sukses. Kalo kuliah males-malesan seringnya titip absen dan target
absen cuma minimal ikut ujian, dari universitas mana aja nasibnya sama semua. Semua
orang itu punya kemampuan punya kemauan, cuma belom seluruh potensinya aja
keliatan.
Kalo masuk UGM itu mainstream, kamu
anti-mainstream sekarang. Setidaknya sampai S1 selesai.