Wednesday, July 10, 2024

Tentang Satria Muda

Jujur saja, dulu saya benci Satria Muda (SM). Pertama nonton liga basket indonesia tahun 2005, saat masih SD, saya mendukung Aspac. Hari ini ada debat siapa GOAT sepak bola, Ronaldo atau Messi. Bagi saya itu setara Aspac dan SM. Harus pilih salah satu kan?

Spektrum ini punya dua ujung yang dirumuskan lewat pertanyaan: menang pertandingan itu hasil nature atau nurture? Menang pertandingan itu karena latihan kerja keras atau bakat? Menang pertandingan itu bisa diusahakan atau given tertakdirkan menang?

Saya 2005 mendukung Aspac. Permainan Aspac saat itu terlihat lebih passionate, natural, dan flowy, setiap pemainnya terasa seperti lahir untuk bermain basket yang fun. Sebaliknya SM terasa permainan yang lapar, fokus, dan berambisi. Aspac terasa lebih fun, SM terasa sangat serius. Saat itu, basket kenapa seserius ini sih?


Lihatlah foto pemain dari masing-masing tim. SM terlihat lebih physical dan duel. Aspac terasa lebih stylish. Foto kiri adalah Faisal Julius Ahmad, tengilnya minta ampun. Kalau sekarang ada Yesaya yang dirasa tengil, masih jauh. Yesaya masih sopan jauh dibanding Faisal. Foto kanan ada Riko Hantono, sharp shooter yang flamboyan dan santai. Ronaldo dan Messi bukan?


Sembilan belas tahun kemudian, pembenci SM itu menonton pertandingan SM di Solo, pakai kaos SM. Apa pembedanya? Bukan karena Aspac bubar tahun 2021, tapi saya memahami untuk menang itu perlu sistem, disiplin, dan konsistensi; seperti yang dilakukan SM bertahun-tahun. Pada akhirnya main basket tanpa bakat tapi latihan konsisten, bisa juara juga. Bukan berarti SM tidak berbakat dibanding yang lain, tapi konsistensi sistem, disiplin, dan konsistensi mengalahkan bakat. As in everyday life.

No comments:

Post a Comment