Semalam aku berkunjung ke warung kopi yang sudah lama aku tidak kunjungi. Dulu aku hampir mengunjunginya tiap hari. Karena bagiku di situ tempat yang paling nyaman, yang paling bisa membuatku mengerjakan apapun. Itu adalah kunjungan pertama sejak beberapa bulan terakhir. Bahkan aku tidak ingat persis kapan terakhir kali aku ke situ. Rasanya seperti reuni. Alasan kenapa aku tidak pernah lagi mengunjungi tempat itu karena aku merasa aku sudah menjadi orang yang berbeda dibanding beberapa bulan yang lalu. Aku merasa aku dan warung kopi ini sebagai teman tidak terlalu nyambung lagi.
Pada warung kopi yang lain, aku bermain truth or dare. "Sebutkan satu bahasa yang kamu ingin kuasai dan kenapa." Aku dapat truth. "Bahasa latin." "Lho kenapa?" "Banyak istilah dalam bahasa latin yang dari dulu udah ada sampai sekarang masih relate." Salah satunya adalah sic transit gloria mundi, yang artinya tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri.
Pada perubahan yang tidak pernah berhenti, kita membuat hipotesis. Merancang jauh-jauh dengan tanda bintang kecil, kalau situasi tetap seperti ini selamanya. Kita sering berharap saat ini abadi. Terutama ketika pada pencapaian, pada piala, pada indah. Jadi kebanggaan orang tua. Sampai rumah memeluk ibunya. Disimpan lemari hingga dewasa. Diceritakan nenek-neneknya ke kerabat-kerabatnya. Abadi, hingga ingin lagi.
Aku meyakini kita ini kalau ditulis jadi sebuah buku, judulnya adalah anthology of not yet. Pada yang pasti-pasti, kebanyakannya belum. Jogja ke Solo, sampai Solo juga pindah lagi. Hore bulan ini target nutup, besok nol lagi. Selalu belum, selalu tidak sampai. Kita adalah kumpulan belum.
Pada besok-besok yang sudah pasti belum, sementara ngene sik.