Nenek adalah orang yang pertama kali ngajarin makan sayur bening pake kerupuk. "Ki kerupuk." "Engg.." "Dicobooo" *ragu-ragu ambil kerupuk *dimakan pakai sayur "Hmm.. (not bad, enak enak aja)" Sejak saat itu kerupuk bukan hanya milik makanan berat goreng atau santan, pakai sayur bening juga enak.
Nyobain sayur bening pake kerupuk adalah momen breakthrough, menyangkal prejudis awal bahwa sayur bening pake kerupuk itu enggak enak. Prejudis itu muncul dari pengalaman-pengalaman sebelumnya yang bilang paduan sayur bening pake kerupuk nggak enak. Makan nggak harus nasi pun juga momen breakthrough, menyangkal nilai yang ditanam kalau belum makan nasi belum makan. Itu adalah tingkat sederhana dari sebuah dogma.
Dogma adalah prinsip atau nilai yang ditetapkan oleh otoritas sebagai salah satu yang tidak terbantahkan. Dogma juga yang mengantarkan kita kepada fanatisme buta. Mengiring kita untuk menjawab pertanyaan dengan irasional lewat kata-kata pokoknya, harus, dan harga mati. Menuntun kita untuk menutup akses-akses kepada pemikiran dan hal-hal baru. Membuat kita sebagai makhuk yang tidak pernah salah tiada cacat.
Salah satu sebab kenapa kita mendapatkan dogma adalah tidak mengkritisi apa yang indra kita tangkap sebelum diolah menjadi persepsi. Bentukan persepsi yang terus menerus ditanam itulah yang menumbuhkan dogma. Seolah-olah dogma tersebut adalah sebuah kebenaran, sebuah kepastian. Padahal apa yang kita anggap kepastian sebenarnya bukan kepastian melainkan akumulasi kebiasaan yang kemudian kita gunakan untuk memastikan. Sedangkan hal tersebut tergantung dari jumlah kebiasaan yang kita pelajari dan jumlah variasi persepsi yang kita tangkap. Tapi bukankah apa yang kita tangkap bukan seperti yang terlihat? Yang perlu kita lakukan adalah membuat dialektika, mempertanyakan kembali, dan menolak nyaman. Memang tidak semua hal yang ada di dunia ini dapat dilogikakan, tetapi semua hal bisa dikritisi, selalu ada jawaban atas semua pertanyaan. Never settle is good.
Selain dogma, persepsi kita juga bisa dipengaruhi atas ego. Ego kuat yang mencampuri persepsi bisa berujung pada delusi. Delusi adalah suatu keyakinan yang salah karena bertentangan dengan kenyataan.
Sekolah adalah salah satu media untuk kita melakukan sintesis yang akan membentuk realita. Bukan tempat dan kelasnya, tetapi nilai-nilai sekolah untuk terus belajar, menguji, belajar, dan menguji kembali. Realita juga bisa dipengaruhi oleh nilai moral dan nilai budaya, bisa jadi dua tempat yang berbeda mempunyai kebenarannya masing-masing. Tidak semua realita kita sukai, tidak semua delusi kita benci. Realita cenderung memilih kebenarannya tanpa memandang perasaan penerimanya.
Semurni-murninya sintesis yang kita lakukan, tidak akan berarti jika tidak ada penerapan praktis yang bisa dilakukan. Tidak ada yang tahu apakah kita hidup didalam delusi atau realita. Let's live as we know, mari mengkritisi hal-hal yang ada di dalam hidup kita. Tidak semua harus menjadi masalah, karena tujuannya untuk mengetahui alasan ekstinsasial dari setiap hal. Setiap alasan eksistansial adalah kebaikan, cara manusia menggunakannya lah yang membuatnya tidak baik bagi orang lain.
Bisa jadi terdapat beberapa alasan eksistansial dari satu zat, maka mari kita pilih alasan favorit yang akan kita pilih menjadi realitas favorit, favorit karena berasal dari sintesis kita sendiri, favorit karena kita terlepas dari skala favorable dan unfavorable.